Jumat, 08 Januari 2010

Problema Kegemukan Amerika

Ironi bisa terjadi serta merta, tanpa niat apa-apa.

Beberapa waktu lalu, seorang perempuan muda di awal 20-an yang menenteng tas tangan dan headphone MP3 yang menempel di kedua telinga, naik ke dalam bis dan duduk tepat berhadap-hadapan dengan saya. Ia beringsut mematut posisi duduk di kursi bis kota, dengan wajah acuh, musik melantun di telinga. Tak ada yang istimewa, kecuali bahwa ia memang gemuk sekali. Postur yang lazim terlihat di negeri Paman Sam ini.

Yang menjadi ironi adalah bahwa ia duduk tepat di bawah platform langit-langit bis yang memajang iklan layanan masyarakat yang mengajak peran serta masyarakat dalam menangkal masalah obesitas. Prevent Childhood Obesity, begitu tertulis. Memang targetnya anak-anak. Dan di sebelah tulisan itu terpampang gambar junk food yang lezat berikut fries yang mengkilat berminyak.

Saya tidak tahu mau bilang apa. Ironi ini menjadi menyentak ketika memang data statistik masyarakat AS yang semakin banyak mengalami masalah kelebihan berat badan [dibanding dengan, misalnya, Eropa atau Asia]. Televisi cukup sering mengangkat soal krisis garis pinggang (waist-line) yang terlalu longgar ini. Persoalannya menjadi sebuah krisis justru karena gejala obesitas meluas sejak usia anak. Padahal, berdasarkan riset yang dilakukan, anak-anak AS yang sejak kecil telah kegemukan memiliki peluang yang lebih kecil untuk tidak menjadi tambun ketika dewasa.

Menurut data, 1/3 dari anak-anak di AS mengalami kegemukan atau terancam obesitas. Menurut perkiraan Mayo Clinic, ini berjumlah sekitar 25 juta anak (dan remaja). Sedangkan jumlah orang dewasa yang kegemukan, menurut American Obesity Association, juga mencapai 1/3 warga dewasa, yang mencapai 60 juta orang.

Saya jadi teringat sebuah humor oto-kritis oleh seorang stand-up comedian AS yang bertanya dengan nada tajam: ketika di negara-negara berkembang orang mati kelaparan, mengapa rakyat Amerika terancam kematian karena kekenyangan? Faktanya, masalah obesitas ini telah menjadi isu yang semua orang tahu, bahkan menjadi isu politik. Stephen Dubner [yang dengan Steven Levitt menulis Freakanomic] jadi bertanya retoris—Does Obesity Kills?

Bagi yang serius, seperti Dubner, jawabannya ya. Jujur saja, ketika negara miskin dan berkembang bertarung melawan busung lapar karna malnutrisi, krisis kegemukan hanya akan menjadi isu bagi negara yang makmur. Tak perlu harus menyebut-nyebut Jeffrey Sach yang mencanangkan penghapusan kemiskinan (The End of Poverty) untuk memaklumi fakta yang kasat mata ini. Benar bahwa bahwa kegemukan pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor genetik dan hormonal, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak lain karena makan terlalu banyak dan kurang olah raga. Di AS ini sangat disadari dan telah dimasukkan dalam perencanaan program pendidikan. Obesitas harus dilawan sejak masa kecil.

Itulah sebabnya bis kota Los Angeles merasa perlu memasang iklan layanan masyarakat menolak obesitas anak di dinding interiornya. Sebab, mencari orang-orang gemuk barangkali sekian kali lipat lebih mudah daripada yang kurus kelaparan. Kalau anda pergi ke tempat rekreasi publik, apalagi di musim panas, ekspose tubuh-tubuh yang terlalu berat itu akan terlihat di mana-mana.

Itulah pula sebabnya di sekolah-sekolah pun, mulai dari TK dan SD, kegiatan olah raga anak menjadi bagian yang inheren. Anak-anak yang makan banyak gizi itu perlu disuruh terus bergerak, tidak jadi malas, agar kelebihan takaran kalori yang masuk ke tubuh dapat terbakar. Sebab, ini juga merupakan pangkal permasalahan serius bagi ekonomi kesehatan secara nasional.

Menurut Haskin et.al, krisis kegemukan di AS merupakan faktor pemberat bagi anggaran kesehatan. Disebutkan bahwa biaya penanganan penyakit yang terkait dengan obesitas seperti darah tinggi, jantung, diabetes, gagal ginjal dan lainnya mencapai US$ 92-117 milyar (2002). Ini ditambahkan lagi oleh biaya tak langsung sekitar 56 milyar karena premature death dan lainnya.

Intinya, masalah kegemukan tidak lagi hal yang sederhana bagi AS dan mesti menjadi perhatian semua pihak. Sekolah-sekolah pun dijadikan terget atau benteng awal untuk mengantisipasi krisis kegemukan sejak dini. Itulah ironi dunia; bukan lagi sekedar kontras iklan layanan masyarakat dalam sebuah bis kota, tetapi kontras survivalisme antara yang kekenyangan dan—tentunya isu yang lebih global—kelaparan. Kedua-duanya membawa ancaman kematian.

PENULIS LEPAS.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar