Jumat, 08 Januari 2010

Dilarang Jualan Di Kelas!

Dua anak segera menghampiri Ais begitu gadis kecil tujuh tahun itu menapak koridor kelas. Kasak kusuk, perhatian mereka tersedot ke isi tas Ais. Seolah tak sabar untuk segera melakukan transaksi mereka berusaha membuka resleting tas. Sementara Ais, mencuri pandang dengan sedikit segan ke arahku. Sesampainya di kelas, ketidaksabaran itu memuncak.

“Lupa, nggak bawa,” kata Ais setelah tak menemukan apa yang dicarinya dari saku depan tasnya.

Tak banyak kata, salah seorang temannya yang kemudian kutahu kakak kelas bernama Kamila membantu dengan membuka bagian tas yang lain, mencoba menemukan apa yang sudah dinantinya. Meski dengan hasil yang sama, nihil.
Kemarin sore, Ais memang mengaku kalau dinasehati ustadzahnya agar tak jualan lagi. Gara-garanya, transaksi itu dilakukan saat jam pelajaran. Meski sudah kuwanti-wanti, tetap saja dia melakukan itu di saat jam pelajaran.

“Temen-temen pada mau lihat Ma,” begitu alasannya.
“Tapi kan Kakak yang jual. Mestinya Kakak ingat nasehat Mama. Sekarang yang rugi kan Kakak sendiri. Udah kena tegur ustadzah, nggak bisa dapat tambahan uang saku lagi,” kataku.
“Iya deh, Kakak janji,” katanya lagi. “Tapi Mama bikinin lagi ya. Udah pada pesan tuh.”
Aku hanya tersenyum sembari menstater motor merahku. Mendung hitam menggantung, memberati langit senja itu.

Anakku itu, selalu saja mempunyai ide untuk jualan. Entah secara alamiah anak-anak memang seperti itu atau dia ingat pengalamannya saat masih di Sidoarjo, betapa asyiknya mendapat duit dan melayani pembeli es lilin di rumah kami.

Setelah gagal membujukku untuk membuat es lilin nanas dan kacang ijo untuk dijual seperti dulu, dia mengalihkan perhatiannya ke buku-buku. Mau dijual, atau mau bikin perpustakaan. Dia merancang juga, bagaimana sistem pinjam meminjamnya. Peminjam berada di sini, pakai kartu pinjaman seperti ini, bla bla bla.

Sekarang, kecenderungannya jualan itu dilampiaskan pada pernak-pernik dari kain flanel yang tengah kutekuni. Setelah berhasil coba-coba dengan boneka jari, aku mencoba membuat bros dengan bentuk wajah gadis berjilbab. Beberapa barangku itu lalu dibawanya ke sekolah. Sambutan temannya ternyata luar biasa. Mereka pada suka. Hari pertama jualan beneran, dari 4 tempat tissue yang kubawakan laku 2 buah. Dan dari 5 buah brosnya laku 3 buah. Uangnya, jangan ditanya. Tak sesuai dengan harga yang kutetapkan. Tapi biarlah, namanya juga anak-anak dan dia belum mengerti sepenuhnya nilai uang dan perhitungannya.

“Sebenarnya temenku banyak yang mau beli Ma. Tapi mereka nggak bawa duit,” akunya. Karena tak ada kantin dan jajan sudah diselesaikan sekolah, anak-anak itu memang biasa tak membawa uang jajan.
“Besok saja katanya. Nanti malam Mama bikin lagi yang banyak ya.” Katanya lagi.

Malamnya, aku membuat bros dengan bentuk hati bertuliskan namanya. Bersama tempat tissue dan bros gadis berjilbab kesukaannya, sengaja kumasukkan di plastik tersendiri. Ternyata hal itu meletupkan ide lain di kepalanya. “Bikin paket komplit, Ma. Komplit satu kalau brosnya dua, komplit dua kalau brosnya tiga.” Katanya sembari memilah warna dari tempat tissue dan bros yang senada. Bahkan sebelum berangkat tidur dia masih saja cerewet mengatur pernak-pernik yang senada.

Seperti saat dia menjual sticker pada teman SDNnya dulu, aku membiarkan saja. Kalau perlu kudukung seperti sekarang untuk menumbuhkan jiwa wirausahanya. Segi positifnya, dia juga belajar mengerti nilai uang dan perhitungannya. Hanya, yang kurang kuwaspadai, namanya anak-anak, meski sudah kuwanti-wanti jangan mengeluarkan jualannya itu di jam pelajaran, tetap saja dilanggar.

Petang ini, usai sholat maghrib dia mengeluarkan berlembar-lembar uang ribuan dan dua lima ribuan. “Ini dari Hana, Zalfa, sama Rizka, Ma,” katanya. “Zalfa pesen yang bentuk bintang pake manik-manik atasnya. Hana dua tapi duitnya kurang. Bla bla bla…”

Aku tersenyum saja, rebah di karpet ruang tengah, kelelahan setelah seharian ‘thawaf’ di Plaza Senayan dan Mall Cilandak. Ugh, gadis kecilku itu memang ada-ada saja! 

http://lembarkertas.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar