Usia pembuahan novel pertama saya sudah lebih tua dari usia anak saya, Hana Alfazzahra. Tapi, sampai saat ini novel ini masih dalam kandungan dan belum juga bisa ‘dilahirkan’ ke dunia penulisan.
Sempat terpikir untuk melahirkannya sendiri, tanpa bantuan bidan atau dokter kandungan (baca: penerbit). Tapi ternyata, untuk urusan kelahiran sebuah novel, justru bantuan bidan dan dokter malah lebih murah. Uang saya nggak cukup kalau harus melahirkan (baca: menerbitkan) sendiri.
Akhirnya saya kirim juga ke bidan dan dokter kandungan—setelah mendapat masukan dari beberapa teman kuliah yang saya mintai pendapat tentang novel ini. Tapi, kok si novel ini didiamkan saja di ruang bersalin? Selama 7 bulan. Bayangkan!
Akhirnya, saya mengambil kesimpulan, novel ini memang belum siap untuk dilahirkan. Saya tanya sana-sini. Akhirnya saya yakin, memang novel ini masih perlu nutrisi lebih untuk siap muncul ke bumi. Maka saya tarik kembali si novel.
Saya pilihlah empat orang teman yang cukup saya percaya dapat memberikan nutrisi yang membangun. Syukurlah, minggu lalu, salah satunya memberikan serangkaian nutrisi plus vitamin yang saya yakin dapat membuat karya ini lebih ‘hidup’ dan siap dilahirkan.
Menurut sahabat yang juga penulis di majalah anak ini, nutrisi dan vitamin yang kurang di antaranya adalah:
Diksi yang tepat
- Latar ruang yang mendetil
- Rasa ingin tahu pembaca
Duh, saya sempat bingung juga. Berarti banyak yang harus saya lakukan supaya si novel ini bisa lahir. Sempat terpikir juga untuk bed-rest dan fokus hanya pada novel ini. Tapi, saya punya segudang hal lainnya yang harus saya kerjakan.
Akhirnya saya memutuskan untuk tidak bed-rest. Saya tetap beraktivitas. Namun, si novel juga harus dapat perhatian khusus supaya semakin ‘sehat’ dan layak lahir.
Saya pantang menyerah untuk hal yang satu ini. Saya nggak mau si novel mati dalam kandungan. Si novel harus lahir!
PENULIS LEPAS.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar