Jumat, 08 Januari 2010

INOVASI BARU: Cara Modern Menjadi Penulis Hebat!

“Allah itu dibikin dari apa Bun?” tanya Malik polos. Jujur, saat itu saya bingung menjawab pertanyaannya. Semalam saya tak bisa tidur. Iseng-iseng, saya membuka kembali catatan harian tentang perkembangan spiritual anak-anak saya. Saya jadi teringat, tiga bulan lalu, Malik, putra saya yang berusia 4,5 tahun, memang sedang gandrung dengan pertanyaan seputar Allah. Karena bingung, saya balik bertanya,”Menurut Aik, Allah dibikin dari apa?” Tanpa ragu, ia seketika menjawab,”Dari angin Bun.”Wow dari angin? Saya kaget dengan jawabannya. Tapi saya dan suami meyakini bahwa anak-anak adalah makhluk spiritual. Kami sepakat untuk berusaha memberikan kebebasan berpikir dan membuat mereka tak terkekang dogma. Kami yakin imajinasinya tak perlu dihambat, hanya perlu diarahkan hingga akhirnya ia bisa menemukan sendiri jawabannya. Jadi, jawaban Malik saat itu saya biarkan saja. Saya hanya balas bertanya,”Kenapa Allah terbuat dari angin Ik?” “Karena Angin nggak keliatan Bun, Allah juga nggak keliatan,” balas Malik. Hmm…alasannya memang logis, pikir saya. Tapi karena saya sedang repot, diskusi kami saat itu terhenti. Saya katakan padanya untuk bertanya lain hari pada ayahnya.

Sebulan kemudian, Malik mendengar Lala, kakaknya, menangis sambil berkata betapa sayangnya ia kepada Allah. Malik pun langsung ikut bersuara soal Allah. “Allah ada disini ( sambil menunjuk lantai di sebelah Lala), disini (menunjuk hidungnya sendiri :-) ), dan disini (menunjuk pintu). Allah ada di semua,” katanya lucu. Lalu Malik menghampiri saya,”Allah juga ada disini Bun,” katanya sambil menunjuk bola plastik transparan yang dipegangnya. “Tapi di dalem situ Allah bisa bernapas.” Saya geli mendengarnya. Bagus juga, artinya Malik paham bahwa bila manusia yang berada di dalam bola itu pasti tidak akan bisa bernapas.

“Oh menurut Aik begitu ya?” tanya saya. “Iya, Allah ada dimana-mana,” jawabnya yakin. “Siapa yang kasih tau Aik?” saya penasaran. “Juf (bu guru),” balas Malik sambil nyengir. Saya kaget! Sungguh! Saya tinggal di Belanda dan anak saya bersekolah di sekolah negeri. Apa betul di negara sekuler ini masih ada guru yang mau berbicara soal Tuhan dengan muridnya? “”Betul begitu Ik? Juf yang kasih tau? Memang Aik tanya sama Juf?” Malik mengangguk kuat. “Iya Bun, Echt (betul banget)!”

Wah anak saya sungguh berani bertanya kepada ibu gurunya soal Allah?! “Aik gimana tanyanya sama Juf?” Saya kian penasaran. “Juf, Wat is Allah?” jawabnya. “Oh ya, Aik tanya begitu?” Lagi-lagi Malik mengangguk. “Terus Juf jawab apa Ik?” Dan jawaban Malik membuat mata saya terbelalak. “Allah is allevorm (semua bentuk). Allah is vierkant (segiempat), Allah is driehoeken(segitiga).” Aik menirukan Juf nya. “Bunda, Allah juga bisa ngomong Italia, Deutchland(Jerman), Prancis, semua negara-negara Allah bisa ngomong,” lanjut Malik lagi. Saya yakin betul, belum pernah saya dan suami saya mengatakan hal ini pada Malik. Jadi apakah Malik betul-betul mendapat jawaban itu dari juf nya?

Akhirnya untuk menghilangkan rasa penasaran, sepulang sekolah saya meminta konfirmasi kepada juf.”Apakah Malik pernah bertanya tentang Allah?”tanya saya. Bu guru itu pun menjawab,” No…he never ask me about that!” Olala…saya yang sudah hampir percaya dengan pernyataan Malik, lagi-lagi terbelalak. Jadi semua betul-betul imajinasi Malik! Tapi mengapa ia bisa mengarang cerita seperti itu? Hati saya tak berhenti tertawa juga menerka-nerka, barangkali inilah bentuk pencarian Tuhan ala bocah, pikir saya.

Dan pencarian Malik masih saja berlanjut. Beberapa hari sesudahnya saya ingatkan suami saya untuk menjawab pertanyaan Malik soal terbuat dari apa Allah. Lala yang pemahamannya sudah lebih baik langsung menjawab,”Allah terbuat dari semua, betul kan Ayah?” Mendengarnya Malik langsung protes,”Mbak Lala fout (salah)!” Mbak Lala itu Allah? (dengan nada suara menyalahkan) Ayah itu Allah? (masih dengan nada yang sama) Aik itu Allah? (nadanya semakin menyalahkan) Bukan!” Jawab Malik sengit. “Manusia nggak ada yang tau Allah terbuat dari apa Ik,” suami saya langsung menengahi.

“Allah terbuat dari niks (bukan apa-apa)!” Seru Malik galak. Tapi karena jawaban asal dari mulutnya itu saya pikir betul, saya pun langsung menimpali. “Oh iya Aik betul sekali, Allah terbuat dari niks.” Dan mendadak Lala menambahkan,”Tapi kita bisa tau Allah terbuat dari apa nanti di surga.” “Iya La betul sekali. Mbak Lala pinter, Aik juga pinter pengen tau tentang Allah. Seperti nabi Ibrahim yang mencari siapa Tuhannya itu lho. Inget kan Aik…” kata saya.

Lalu suami saya kembali mengulangi cerita nabi Ibrahim kepada mereka. Malik sok cuek, seperti tak ingin mendengarkan ayahnya bercerita. Tapi sambil memainkan legonya, rupanya diam-diam dia serius menyimak cerita ayahnya. Setelah cerita selesai, tiba-tiba Malik berbisik pelan,” Maksud Aik, Allah terbuat dari niks (bukan apa-apa), karena harus dilihat dulu nanti di surga,” Hmm…lagi-lagi saya tersenyum sambil bergumam dalam hati, syukurlah rupanya Malik mulai bisa menemukan pencarian Tuhannya.

Selesaikah pencarian Malik? Oh rupanya belum. Hari berikutnya lagi ketika suami saya sedang menggoda Malik dengan berebutan buah melon, Malik bertanya,”Melon ini buat ayah atau buat Allah? “ Suami saya tentu saja bertanya,”Allah bisa makan ya Ik?” Dengan penuh percaya diri Malik menjawab,”Bisa. Kalo nggak makan nanti Allah mati.” Hehehe saya geli sekali dan ingin tahu imajinasi Malik lebih lanjut. “Allah makannya apa Ik?” tanya saya. “Makan melon, makan semua!”

Mendengarnya, Lala yang berdiri di sebelah Malik cekikikan sambil berkata sok dewasa,”Aik…Aik…Allah itu terbuat dari niks, jadi Allah makan niks!”
Malik tak mau kalah,”Allah terbuat dari niks tapi bisa liat semua, bisa liat melon juga, bisa makan juga!” Lalu analisa Malik berlanjut. “Allah punya gigi? atau ndak?”
Ayahnya menjawab,”Allah terbuat dari niks, berarti ndak punya gigi Ik.”

Setelah beberapa saat termenung, Malik bertanya lagi, “Allah ndak punya gigi. Allah itu baby atau oma (nenek)?” Hehehe saya tertawa lagi. “Allah itu bukan baby, bukan oma, bukan semua,” balas ayahnya. “Allah itu Tuhan! Hmh…Aik…Aik…” timpal mbak Lala, lagi-lagi sok dewasa. Saya tak berhenti tertawa, tapi saya maklum, anak seusia Malik memang baru bisa memahami hal-hal yang kongkret. Tak heran bila pencariannya tentang Tuhan menjadi dialog yang ganjil dan lucu.

Namun, beberapa minggu kemudian cerita pencarian Tuhan ala Malik tak lagi membuat saya tertawa. Saat itu Malik marah besar lantaran suami saya tak berhenti menggelitiki perutnya.”Sebesar apa marahnya Aik ke ayah? tanya saya. ” Dari Belanda sampe Afrika. Eh ehm.. maksud Aik Sebesar bumi!” jawab Malik. Tapi Lala membela ayahnya,”Kalo mbak Lala, mbak Lala sayang sama ayah. Sayangnya dari matahari sampe pluto.”Karena masih sangat marah, Malik pun menyahut galak,”Aik marah sama ayah dari matahari sampe pluto!” Tapi yang membuat saya heran, kalimatnya tak berhenti sampai disitu. Dengan semangat ia pun berkata,”Dan Aik sayang sama Allah dari matahari sampe pluto!”

Ya Allah…saya sungguh terharu mendengarnya. Apakah pencarian Tuhan ala Malik memang berakhir indah? Dengan cinta yang begitu besar kepada Tuhannya? Entahlah, saya hanya bisa berdoa semoga semua itu benar dan kekal adanya. Namun yang pasti, saya semakin yakin bahwa pelajaran tentang Tuhan bagi anak-anak sungguh abstrak dan tak mudah. Anak-anak adalah mahkluk spiritual, dan saya, orangtuanya sekalipun, tak berhak untuk mematahkan imajinasi mereka tentang Tuhan. Tugas saya hanya lah membimbing serta mengarahkan. Dan ternyata dengan caranya sendiri ia menemukan Tuhan versi bocah. Bahkan dengan cinta yang tak terbayangkan, dari matahari hingga pluto!(Agnes Tri Harjaningrum, http://agnes.ismailfahmi.org/home)



penulis lepas.com(google)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar