Jumat, 08 Januari 2010

Berbagi Peran Suami Istri

Baru kemarin aku posting di blog tentang repotnya membagi waktu, hari ini aku mendapat keluhan yang sama. Bahkan kalau dipikir-pikir, kondisi sahabatku itu lebih tidak menguntungkan dariku. Saat aku silaturahmi ke rumahnya, dia sedang tak enak badan. Kurang tidur, banyak kerjaan. Tubuh kurusnya tampak semakin ringkih saja.

“Semua-muanya aku yang ngerjain Mbak,” akunya. “Si Abi (maksudnya suaminya) hanya tahu beresnya saja. Padahal aku kan juga kerja. Kemarin aja ditegur bos karena nggak ngasih laporan tiap harinya. Aku ingin curhat, tapi sama siapa? Apa semua perempuan mengalami seperti ini?”

Aku tersenyum. Keluhan semacam itu, tidak hanya sekali ini kutemui. Bahkan aku sendiri pernah mengalami
“Pagi, aku nyiapain si Abi. Lalu memandikan dede, membuatkan bubur, menyuapinya, bla bla bla…” dia memperinci daftar kerjaannya dalam satu hari.

“Kenapa nggak mengambil permbantu saja Dik?” tanyaku. “Kita nggak mungkin mengerjakan semua-muanya. Kalau itu bisa didelegasikan ke orang lain, seperti cuci gosok, kan lumayan mengurangi pekerjaan kita.”

“Rumah segede ini Mbak, sungkan mau ngambil pembantu. Lagian sekali datang biasanya 25 ribu,” alasannya.

Dalam hati aku membenarkan. Rumah sempit yang menjadi alasannya, bisa kumaklumi sekali. Rasanya memang tidak nyaman mengundang orang lain ke ruang pribadi kita yang terbatas. Dulu pun saat masih kontrak di Pondok Kelapa, meski bukan rumah petak aku sungkan mau nyuruh orang untuk membantuku menangani cuci gosok. Dan pada akhirnya aku harus mengalahkan waktuku menulis atau sekedar rasa malas (kalau pas sedang ingin bermalas-malasan) untuk menangani pakaian yang sepertinya remeh dan ringan tapi cukup merepotkan itu.

“Kenapa nggak ngambil yang bulanan langsung aja sekalian? Kan jatuhnya lebih murah. Paling sekitar 250 ribuan,” kataku. “Kalau cuma cuci gosok, mereka kan pulang. Seperti pembantuku itu, kalau siang pulang, balik sore kalau aku perlu menjemput Ais dari sekolahnya.”

“Penginku sih kubelikan mesin cuci aja Mbak,” si suami urun bicara. “Cuman, belum sempat kebeli juga.” Aku membenarkan jalan keluar lain yang hendak diambilnya. Memiliki mesin cuci memang sedikit banyak meringankan tugas kita. Apalagi jika mesin cucinya otomatis. Tinggal setel dia bisa jalan sendiri dan kita bisa memgang pekerjaan yang lain.

Bertandang ke rumah pasangan muda siang itu aku jadi menengok keadaan kami beberapa tahun silam. Saat masih kontrak, saat aku masih kerja kantoran, saat masih long-distance-relationship Jakarta-Surabaya dengan suamiku, saat tak punya pembantu. Masa itu, entah bagaimana aku mampu melampauinya. Baru menjemur pakaian dan mengepel rumah jam 12 malam adalah hal biasa kulakukan saat masih di Surabaya. Faktor ekonomi memang menjadi salah satu kendala.

Aku, merasa lebih beruntung karena betapapun repotnya aku membagi waktu sekarang ini, masih bisa kusiasati dengan mengerem target pribadi. Maksudku, biarlah aku harus mengalah tak memegang gunting dan kain flanel dulu sebelum anakku tidur, atau draft novel itu kusimpan sementara di catatan. Semuanya masih bisa direskedul. Berbeda dengan sahabatku yang kerja di rumah tapi memiliki bos yang begaimanapun menuntutnya memenuhi pekerjaannya. Pekerjaan rumah juga tak bisa didelegasikannya ke orang lain karena tak memiliki pembantu (dengan berbagai alasan di atas).

Tapi tentang peran istri suami, domestik dan luaran itu, sepertinya harus dibicarakan lagi. Sebenarnya toh tak ada kewajiban atau perjanjian tertulis bahwa istri harus menyediakan makan atau bekal suami. Jika pagi istri sudah repot dengan si bayi, kenapa suami nggak turun dapur sendiri? Bikin oseng taoge atau ceplok telur sederhana pasti semua bisa. Hanya masalahnya, mereka (para suami itu) mau apa tidak? Soal menyetrika dan mencuci pun sama. Kenapa semua harus istri yang mengerjakannya? Padahal dia sudah cukup repot dengan mengurus anak. Apalagi masih bayi.

Suami, kadang beralasan bahwa mereka sudah capek kerja. Alasan itu, bisa diterima. Aku sendiri kadang mau meminta suami gantian jagain si dede bayi tak tega kalau melihatnya tertidur di sofa sepulang kerja. Tekanan di kantor dan stres di perjalanan membuat mereka (bayi besar itu ) ingin dimanjakan di rumah.

Tapi, bukankah para istri juga bekerja di rumah? Entah dia bekerja dalam artian memiliki bos atau freelancer, atau merintis usaha sendiri. Bahkan tanpa embel-embel itupun, ‘hanya’ sebagai ibu rumah, bisa disebut juga bekerja? Jam kerjanya 24 jam malah. Lalu tak bolehkah dia mendapat sedikit penghargaan–dengan suami tak menuntut perhatian dan minta dimanja juga–dan bantuan (gantian menjaga anak setelah seharian bersamanya, misal).

Setiap keluarga, memiliki karakteristik sendiri. tergantung karakter pembangun utamanya, suami dan istri. Namun apapun itu, hendaklah dikomunikasikan dalam kerangka win-win solution. Jangan sampai ada pihak yang merasa dikalahkan, dilemahkan. Jangan sampai ada pihak yang terlalu tertekan. Runtuhkan bangunan baja yang menyatakan bahwa memasak mencuci setrika adalah tugas istri sehingga haram bagi suami untuk melakukannya.

Namun istripun, hendaknya tak manja dan menuntut apa yang belum mampu diberikan oleh suaminya. Berbuat saja yang terbaik, memaksimalkan dan memenej waktu searif mungkin tanpa harus memaksa diri sendiri. Jika memang baru bisa memegang cucian saat malam, tak apa. Jika memang tak bisa mengepel lantai tiap harinya, relakan saja. Yang penting kondisi rumah tak sampai acak kadul yang membawa dampak ke kesehatan penghuninya.

Kita yang lebih tahu isi istana kita, dan hanya kita pula yang mampu mengubahnya.

http://lembarkertas.mu.tiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar